Label

Sabtu, April 14, 2012

Syauqi Ngamuk !

Newcastle, 14 April 2012


Kebahagiaanku dalam mengarungi bahtera rumah tangga semakin sempurna ketika Allah mempercayakan kepada kami sepasang anak yang kami beri nama Nada dan Syauqi. Mereka tumbuh menjadi anak yang sehat, cerdas,  tentunya juga cantik dan ganteng.

 Mengurus dua anak yang berusia 8 dan 9 tahun dengan jenis kelamin yang berbeda tentulah tidak sesulit jika mengurus dua anak dengan jenis kelamin laki-laki, setidaknya itulah yang disampaikan oleh teman-teman ketika mereka tahu bahwa anakku sepasang. Terus terang Aku hanya bisa tersenyum mendengar perkataan mereka sambil berpikir benarkah demikian? Bagiku tetaplah tidak gampang mendidik Nada dan Syauqi supaya saling mengasihi, menyayangi dan belajar bertoleransi satu sama lain.


Mereka berdua kalau bisa ku ibaratkan bagaikan Tom dan Jerry dalam film kartun anak-anak. Setiap saat selalu saja ada hal yang diributkan, saling teriak dan kemudian diakhiri dengan tangisan salah satu atau keduanya. Sampai tahap ini barulah mereka mendekatiku untuk mengadu dan saling menyalahkan satu sama lain. Hal ini terus berulang setiap hari, beberapa kali dalam sehari, bertengkar , berdamai, bertengkar dan berdamai lagi. Sampai Aku heran dan berpikir, kenapa anak-anak ini tidak bisa bersabar dengan saudaranya sendiri seperti mereka bisa bersabar dengan teman-temannya yang lain.

Suasana ribut di rumah tidak selalu karena pertengkaran Nada dan Syauqi, ada kalanya suasana ribut karena mereka marah pada Aku maupun suami. Mereka kecewa akan sikap atau tidak puas dengan peraturan yang telah ditetapkan  dan disepakati sebelumnya, atau salah satunya marah dan kecewa kenapa yang saudaranya yang lain tidak dilarang melakukan sesuatu.

Aku teringat kejadian yang beberapa hari yang lalu. Syauqi mendekatiku dengan muka cemberut dan berteriak.
“Ummi, it’s not fair!” teriak Syauqi. Aku bingung dan mencoba tersenyum. “Apanya yang tidak fair Dekki?” tanyaku. Aku memang biasa memanggilnya dengan sebutan Dekki yang merupakan singkatan dari Dik Syauqi.

Why is Uni Nada allowed to play in computer and I’m not?” protes Syauqi. Dia memanggil kakaknya dengan panggilan Uni Nada (Uni dalam Bahasa Minang berarti kakak perempuan).
“Uni Nada sudah selesai berganti pakaian, minum susu dan mengerjakan PR-nya!” jawabku.

Tapi Syauqi tetap tidak bisa menerima kenyataan bahwa kakaknya sudah boleh bermain game komputer sementara dia belum. Memang, Aku dan suami menerapkan aturan bahwa anak-anak boleh menggunakan komputer dan menonton televisi sepulang sekolah selama 2 jam sehari jika kewajiban mereka sudah selesai dikerjakan. Setiap pulang sekolah mereka harus mengganti pakaian seragam sekolahnya dan menggantungnya dengan rapi, merapikan kamarnya jika masih berantakan, kemudian sholat dan minum susu. Jika ada tugas sekolah yang dibawa pulang, mereka berdua harus menyelesaikan semua itu dulu, baru bisa bermain di depan komputer ataupun menonton televisi. Syauqi tahu dan mengerti benar dengan aturan ini. Dan dia juga tahu bahwa mainannya belum dibereskan tadi pagi, belum berganti pakaian dan belum menghabiskan susunya, sementara Nada sudah menyelesaikan semua kewajibannya. Sebagaimana anak yang berusia 8-9 tahun mereka berdua sedang kecanduan bermain game dan internet dan saling bersaing untuk tampil sebagai yang terbaik.

Syauqi tetap tidak bisa menerima bahwa kakaknya sudah mulai bermain di komputer. Dia terus mengambek dan membujukku untuk membolehkannya bermain. Tentu saja tidak kuizinkan. Peraturan yang sudah di buat dan disepakati bersama harus ditegakkan. Melihatku tidak bergeming oleh bujuk rayunya, dia mulai marah.
I want to play, Ummi!” teriaknya sambil menghentakkan kakinya ke lantai.
Ia mengulangi tindakan ini berulang kali sambil menarik bajuku. Aku berusaha menahan sabar dengan menarik nafas dalam-dalam. Berdo’a semoga emosi ini bisa kutahan dan Syauqi juga berhenti menghentakkan kakinya ke lantai.

Rumah kami berupa flat dua lantai, dan kami tinggal di lantai dua yang berlantaikan papan/kayu. Ketika Syauqi menghentakkan kakinya ke lantai, maka rumah bergoyang serasa gempa dan sudah dipastikan tetangga di bawah akan terganggu apalagi mereka mempunyai anak bayi yang berusia kurang dari 1 tahun.
Aku berusaha menarik nafas lagi dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan,kemudian menyuruh Syauqi untuk berhenti menghentakkan kakinya dan segera menyelesaikan tugasnya berganti pakaian dan minum susu. Jika dikerjakannya, hal itu tidak akan memakan waktu yang lama. Tapi semakin kusuruh dia untuk diam, semakin kuat pula hentakkan kaki dan teriakannya. Huff! Aku menarik nafas panjang kembali dan melarikan diri ke dapur.  berusaha meredam emosi yang menyesak di dada ini.

 Jelas sekali dia berusaha memancing kemarahanku. Aku diam, beristighfar,berusaha tidak peduli dan bergeming dengan apapun yang dia lakukan. Diam itu adalah senjata terakhirku jika memang anak-anak tidak mau mendengarku. Melihat Aku tidak bergeming, Syauqi semakin marah, dia mulai melemparkan mainannya di ruangan tamu, tetap saja kubiarkan selama itu bukan barang pecah-belah dan berbahaya. Aku pura-pura tidak melihatnya. Ketika kemarahan Syauqi sudah semakin tidak terkendali, Aku datang mendekati dia, kutatap matanya lekat-lekat.

“Syauqi, dengar Ummi! Lihat mata Ummi! Syauqi tahu aturan bahwa tidak ada yang boleh main atau menggunakan komputer sebelum semua urusannya beres. Nah sekarang Syauqi belum selesai ganti baju, belum minum susu dan sekarang tugasnya bertambah satu lagi, Syauqi juga harus membereskan semua mainan yang Syauqi lempar ini ketempatnya. Kalau ini semua belum beres Syauqi tetap tidak boleh main. Mengerti!’ kataku tegas.

Syauqi tetap tidak mau dan berteriak kembali, bahwa dia tidak mau membereskan tapi tetap ingin main komputer saat itu juga. Aku hanya menggeleng dan kembali ke dapur untuk menenangkan diri. Dia menangis keras, tapi tidak menghentakkan kaki atau melempar lagi. Tangisannya sangat menyanyat hati seorang ibu. Ah! Ingin rasanya Aku berlari memeluk dan mendekapnya, memegang gelas susunya supaya dia bisa minum dan menolongnya berganti pakaian dan membereskan mainan yang sudah bertebaran di ruang tamu tersebut. Tapi Aku tahan. Aku harus kuat. Aku tidak boleh lemah. Sekali Aku melanggar aturan ini maka dia akan melihat kelemahanku dan akan dijadikan senjata untuk mendapatkan keinginannya.

Ujian itu datang lagi semakin berat, Syauqi muncul kembali ke dekatku. Bukan dengan ekspresi marah dan menghentakkan kaki, tapi dengan mata yang sudah berlinang air mata. Diantara deraian air mata dan isakan tangisnya tersebut dia berkata:
I want to play on computer, pleaseUmmi. Please!” Oh, luluh hatiku mendengar permintaannya. Anak lelakiku, si bungsuku memohon dengan deraian air mata supaya umminya membolehkan dia bermain komputer. Ingin rasanya Aku mengangguk, memeluk dan mendekapnya sambil menghapus air matanya yang masih mengalir deras untuk kemudian mengamit lengannya ke meja komputer. Tapi sekali lagi Tidak! Aku harus kuat, Aku harus komit dengan apa yang sudah kami sepakati bersama. Aku harus bisa menjadikan anak lelakiku ini anak yang tangguh, disiplin dan tidak manja. Dia harus belajar disiplin, mengerti akan aturan dan konsekuensinya dan yang paling penting dia harus belajar bahwa tidak semua yang dia inginkan bisa dia dapatkan.

Aku hanya bisa menggeleng lemah. Dengan suara lembut dan  menekan rasa yang berkecamuk di dada Aku kembali mengatakan bahwa dia harus menyelesaikan semua tugasnya dulu untuk bisa main komputer. Aku juga menambahkan bahwa waktu terus berjalan dan sebentar lagi dia harus mengaji dan kemudian tidur. Jadi semakin cepat dia mengerjakan semua tugasnya, maka semakin cepat dia bisa bermain komputer.

Syauqi hanya menunduk mendengar perkataanku, kemudian dia membalikkan badannya dengan gontai tanpa berkata apa-apa lagi. Dia tahu dan mengerti bahwa Aku tidak bisa di bujuk dan diajak kompromi lagi. Dia kumpulkan semua mainannya dengan isak tangis yang masih bisa kudengar dari pintu dapur yang kututup rapat. Aku tidak sanggup melihat dan menatapnya lagi. Ada rasa menyesal terselip di hati ini, kenapa Aku begitu keras terhadap anak sendiri yang proses kehamilannya dan melahirkannya kujalani dengan sangat berat dan penuh perjuangan. Tapi Aku menguatkan diri sendiri dengan berbisik dalam hati bahwa dunia ini keras, dan kedepannya akan semakin keras, jadi apa yang kulakukan ini adalah untuk kebaikannya sendiri supaya jadi manusia tangguh dan mandiri jika dia dewasa kelak.

Pintu dapur terkuak sepuluh menit kemudian, sosok mungil Syauqi berdiri di sana sambil memegang gelas susunya yang sudah kosong dan pakaiannya yang sudah berganti dengan pakaian rumah.
“Ummi, Syauqi sudah selesai mengerjakan semuanya dan susunya juga sudah habis,” katanya sambil menyerahkan gelas kosong itu kepadaku. Aku tersenyum mengambil gelas kosong itu dan meletakkannya di bak cuci piring.

“Alhamdulillah, Syauqi memang anak Ummi yang pintar dan sholeh, I love You!” kataku sambil memeluknya erat dan menciuminya. Syauqi pun membalas pelukannya dengan erat dan berkata, “I love you too, can I play on computer now, Ummi?”

Aku ketawa dan menciuminya kembali sambil mengatakan tentu saja boleh. Ku dekap dia erat sekali lagi dan kugamit lengannya menuju meja komputer sambil memastikan bahwa semua mainannya memang sudah rapi dan tersimpan di tempatnya kembali. Syauqipun membalas genggaman tanganku dan sudah sibuk berceloteh tentang game yang dimainkannya di internet. Dia menceritakan bahwa ayamnya belum dikasih makan, tanamannya belum disiram dan lain-lain. Aku hanya  tertawa dalam hati ternyata dia bermain game tentang bertani dan beternak di internet. Komputer sudah kuhidupkan dan kursi kuberikan ke Syauqi sambil menciumnya sambil bertanya apakah dia marah padaku. Dengan cepat dia menjawab tidak. Beberapa saat kemudian, diapun sudah tenggelam dan asik bermain seakan-akan tidak terjadi apa–apa sebelumnya.

Ya Allah, Aku bersyukur engkau berikan kesabaran dan kekuatan untuk bisa menahan emosi sehingga tidak meledak serta tetap memegang aturan yang sudah disepakati. Tidak bisa kubayangkan seandainya tadi Aku tidak sabar dan tega, tentulah Aku sudah membiarkannya bermain komputer tanpa menyelesaikan semua tugasnya dahulu, dan secara tidak sadar Aku sudah mengajarkannya dan menanamkan dalam akal pikirannya bahwa aturan itu bisa di langgar; bahwa dengan tangisan dan amukan orang akan mengikuti kemauannya sehingga hal ini sikap ini akan terbawa saat dia dewasa kelak. Semoga apa yang kulakukan itu benar dan baik bagi dia. Bimbinglah aku dalam membesarkan dan mendidik anak-anak ini ya Rohman ya Rahim.
Maafkan Ummi ya Nak, jika Ummi belum bisa dan masih belajar menjadi Ummi yang baik untuk kalian berdua.

Note :
·         Ummi: Panggilan untuk seorang ibu yang berasal dari bahasa arab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar