Berkata' tidak' kepada anak bukanlah hal yang mudah dalam keluarga. Saya termasuk ke dalam golongan yang kurang kuat komitmen dalam penerapan ini. sahabat saya mba Evy dalam tulisan di bawah ini salah satu contoh yang berhasil dalam penerapannya. SIlahkan di baca ya dan sekalian sharing juga kalau ada pengalaman dan tips lain dari sahabat semua di sini, baik yang berhasil ataupun yang belum berhasil.
Semoga bermanfaat.
Salam
Fitria Heny
******************************
BELAJAR POSITIF
EVY SAVITRI HUDOYO
Rasulullah SAW adalah contoh teladan bagi umat manusia. Tidak pernah sekalipun dalam riwayatnya ‘terdengar’ beliau menghardik, mengeluh atau mengucapkan apapun yang bermuatan negatif. Sayangnya, saya pribadi sering ‘lupa’ mencontoh sosok beliau dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya tulisan ini saya tujukan untuk mengingatkan sekaligus instrospeksi diri sendiri.
Salah satu hal ‘termudah’ tetapi sekaligus yang paling menantang dalam membentuk kepribadian adalah kemampuan manusia menjaga lisannya. Pada saat ditanya apa yang paling beliau takuti pada ummatnya, Rasulullah SAW pun menunjuk lisannya. Demikian pula saat ditanya mengenai penyebab mengapa kebanyakan manusia masuk neraka, beliau menjawabnya dengan mengatakan: lisan dan kemaluan.
Insya Allah kita bisa mulai belajar menjaga lisan dengan sengaja berbicara hanya dalam konteks yang positif. Riset membuktikan bahwa positive thinking bermanfaat bagi kesehatan. Tapi yang terpenting, insya Allah dengan selalu berpikir positif maka kita akan terhindar dari dosa yang disebabkan oleh lisan kita. Aamiin allahuma aamiin....
Cara yang paling sedehana untuk memulai berpikir positif adalah dengan menghindari kata ‘tidak’ atau ‘tidak tahu’.
Kita bisa mulai dari diri sendiri dengan mencari pengganti kata tersebut saat menjawab pertanyaan anak. Misalnya saat anak bertanya ” Bunda, aku boleh minum air es?” Alih-alih berkata ”ndak boleh!” coba cari kalimat lain yang lebih positif didengar. Misalnya “minum susu hangat aja yuk, dek” atau “siang-siang begini lebih enak minum jus jeruk, kak. Ngga pakai es juga segar!” Untuk anak yang lebih besar bisa juga dijawab dengan “minum air putih biasa aja ya, mas. Seperti disebut di buku mas tempo hari, air putih biasa lebih efektif menghilangkan haus, kan?” atau kalimat apapun yang bisa merespon pertanyaan tersebut tanpa jawaban pendek seperti “tidak”.
Kenapa kita harus belajar menghindari kata ‘tidak’ atau ‘tidak tahu’? Karena ternyata jika kita merespon suatu pertanyaan dengan kata-kata yang negatif tersebut, otak cenderung berhenti berpikir. Jangankan mencari alternatif dan solusi, mind set kita sudah keburu terhalang untuk berpikir dan memberi jawaban otomatis ‘pokoknyangga bisa’. Kalau sudah begini, akan sulit bagi seorang anak, juga orang dewasa, untuk terbiasa mencari pemecahan masalah. Lebih jauh kita bisa bayangkan akibatnya kalau seluruh manusia di suatu kota atau negara berpikir seperti itu.
Tentu saja kadang kita harus berkata tidak, terutama untuk hal-hal yang berhubungan dengan akidah dan keyakinan. Walaupun demikian, ada satu contoh pembicaraan kami dengan si sulung yang membuktikan bahwa pertanyaan dasar mengenai aturan dalam agama pun bisa dijawab tanpa ngotot berkata ‘tidak’. Suatu saat kami bertanya pada si sulung mengenai apa yang akan dilakukannya kalau ada kawannya di sekolah yang misalnya menawarkan minuman beralkohol (yang sangat jamak bagi anak muda usia sekolah di negara ini). Ternyata alih-alih just say no dia memilih untuk menjawabnya dengan, “ Tahu ngga, kalau menurut kitab Al Quranku, alkohol itu dilarang Allah SWT. Jadi aku lebih memilih minum minuman yang lain yang lebih bermanfaat.” Ternyata walaupun kita menggunakan kalimat yang lain, selama arti dan maknanya sesuai dengan yang kita tuju, jawabannya pun menjadi sah.
Untuk membuat agar proses ini lebih efektif sampai seluruh anggota keluarga terbiasa, bisa dilakukan semacam sistem atau permainan dalam keluarga. Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu ditetapkan aturan bahwa kata ‘tidak’ dan sejenisnya dilarang di rumah kami. Kalau ada yang keceplosan, maka yang bersangkutan didenda 5TT Dollar (kira-kira Rp 7000,-). Kalau yang bersangkutan kebetulan belum punya uang, maka ia harus bekerja untuk membayar denda tersebut dengan pekerjaan di luar pekerjaan rumahnya sehari-hari, seperti mencuci mobil, membersihkan sepatu olah raga ayah, dll. Uang denda tersebut kemudian dimasukkan ke dalam botol, yang nantinya bisa dipakai oleh seluruh anggota keluarga seperti untuk beli es krim di akhir pekan.
Misalnya kalau si adek ditanya ” adek mau makan sekarang?”, dia harus mengganti jawaban ”ngga, bunda” (misalnya saat dia masih kenyang dengan cemilan sore) dengan ” setengah jam lagi ya, bunda?” Demikian juga kalau ditanya “Kakak nanti sore kan harus bertanding. Sudah tahu di mana tempat pertandingannya?” Walaupun tidak tahu (pada saat itu) ia akan berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan “ nanti coba kutanya dulu ke guru olah raga ya, yah. Atau aku juga bisa telepon Malik untuk tanya di mana tempat pertandingannya.” Sounds better, kan?
Ternyata terbukti ‘permainan’ ini cukup efektif untuk ‘memaksa’ otak kita bekerja mencari bentuk respon yang lebih positif, sekaligus bisa memberikan waktu untuk mengendalikan emosi yang mungkin muncul pada saat itu. Kalau yang tadinya saya sudah mau ‘meletus’ karena lihat kamar si adek yang berantakan, maka saat dia bertanya apakah dia boleh main bola di lapangan, saya pun sempat mengambil nafas dan berpikir. Sejujurnya sih omelan saya sudah hampir meluncur dari bibir, “Ngga boleh! Ini adek sudah bikin kamar berantakan, nanti pulang main bola lalu bilang capek, lalu ngga mau beresin kamarnya. Bunda lagi deh yang repot.… “ dan seterusnya dan seterusnya (kalau ngomel susah ya untuk berhenti). Tetapi karena ingat ‘permainan’ kita, sekaligus malu sama anak-anak kalau ternyata saya juga harus bayar denda karena keceplosan berkata negatif, akhirnya saya pun hanya berkata, ” Boleh saja main bola... setelah adek bereskan kamar sendiri ya. Kalau adek cepat kerjanya, mainnya bisa lumayan lama nih. Masih ada waktu satu jam sebelum maghrib.” Anak-anak tidak merasa offended dan lebih menerima ‘syarat’ yang diberikan, jantung saya pun tidak sampai deg-degan karena marah-marah.
Namun namanya anak-anak, kadang mereka juga menguji orang tuanya dengan menanyakan hal-hal yang mereka tahu pasti dilarang. Misalnya sewaktu akan keluar rumah bersama, di mobil tiba-tiba si sulung berkata ,”Ayah, aku yang nyetir mobil ini ya”. Untung si ayah cukup kreatif dengan memberi jawaban, “Boleh saja, mas ... kalau kamu sudah punya SIM sendiri ya. Kira-kira tujuh tahun lagi, deh!” Si sulung pun cekikikan bersama si bungsu, saat tahu ‘jebakan’nya tidak berhasil.
Hal ini tampaknya sederhana tetapi sangat menantang untuk dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti hal-hal lain yang membutuhkan niat yang besar, membiasakan hal sepele seperti menghindari kata ‘tidak’ insya Allah akan berpengaruh positif di masa depan, terutama jika dibiasakan sejak kecil.
Untuk berubah kadang kita memang harus memaksa diri. Dan memaksa diri sendiri untuk hanya berkata positif, insya Allah akan berkibat baik untuk keluarga dan masyarakat di sekitar kita. Lalu bagaimana kalau kita tidak bisa menemukan respon yang positif? Mungkin kita kembalikan saja ke ajaran Rasulullah SAW tercinta,”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah berbicara dengan baik atau diam.”
Kalau ada yang salah mohon dibetulkan ya saudari-saudariku sholehah. Mohon dimaafkan juga atas segala kekurangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar